selamat datang di blog saya dan jangan lupa follow

Senin, September 20, 2010

Mau Urus Rakyat kok Foya-foya


Jakarta - Heboh pembangunan gedung baru DPR-RI telah meredakan kehebohan meledaknya gas LPG bersubsidi dan insiden kelautan dengan Malaysia yang selama beberapa minggu terakhir ini memenuhi pemberitaan di berbagai media massa, meskipun sampai hari ini langkah konkret Pemerintah masih belum jelas.

Pembangunan gedungnya saja sudah menghebohkan publik, apalagi dinyatakan bahwa gedung baru tersebut dilengkapi dengan ruang spa dan fitness yang lengkap, layaknya hotel bintang 5. Berbagai komentar pro dan kontra muncul di media massa, baik dari kalangan publik maupun kalangan internal DPR sendiri.


Sudah beberapa petinggi partai politik yang duduk di DPR menolak pembangunan markas baru DPR-RI yang memakan biaya sebesar kurang lebih Rp 1,162 triliun tersebut, antara lain dari Partai Gerinda, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Hanura dan lain-lain. Adapun parpol yang mendukung pembangunan ini tentunya Partai Demokrat. Terbukti dari pernyataan anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dari Partai Demokrat di Kompas.com tanggal 4 September 2010, Michael Watimena: “pembangunan gedung baru DPR-RI cukup mendesak”.

Alasan Watimena bahwa kebutuhan gedung baru itu mendesak karena akan ada penambahan staf ahli menjadi 3 orang dari semula hanya 1 orang, tentunya keadaan ini memang tidak hanya memerlukan ruang kerja yang lebih luas tetapi juga anggaran negara yang sangat besar penambahannya. Pertanyaannya, apakah memang diperlukan staf ahli sedemikian besar untuk mendampingi kerja para anggota dewan terhormat yang berjumlah 560 orang, dengan fasilitas kerja yang sedemikian besar? Mau nurus rakyat kok foya-foya.

Gedung DPR atau Pasar Mayestik?

Anggota DPR-RI masa bakti 2009 – 2014 berjumlah 560 orang. Setiap anggota saat ini didampingi oleh 1 orang sekretaris dan 1 orang staf ahli. Artinya saat ini ruangan yang ada di seluruh gedung DPR-RI saat ini diokupansi oleh minimal (2 x 560) + 560 orang atau 1.680 orang belum termasuk staf ahli Komisi (ada 11 Komisi), staf Fraksi (ada 9 Fraksi), staf Badan Kelengkapan DPR-RI (ada 8 Badan), ditambah pasukan dari perangkat Sekretariat Jenderal dan lain-lain memang menjadi sangat padat.

Jika akan ada penambahan jumlah staf ahli dari 1 menjadi 3 tentunya diperlukan tambahan ruangan untuk minimal 1.120 orang. Kalau ini terlaksana, maka gedung DPR akan dipadati sekurang-kurangnya 3.000 orang (jika anggota DPR dan staf ahli tidak rajin bolos), belum termasuk perangkat penunjang lainnya dan publik yang ingin bertemu para wakilnya. Akibatnya kompleks gedung DPR-RI akan sepadat Pasar Mayestik di Kebayoran Baru.

Pertanyaannya apa memang perlu penambahan ruangan seluas 160.000 meter persegi dengan biaya semahal Rp. 1,162 triliun, belum termasuk perlengkapan kerja, seperti furnitur dan peralatan elektronik lainnya.

Apakah memang setiap anggota Dewan yang terhormat  beserta minimal 4 staf pendukungnya membutuhkan ruangan seluas 120 meter persegi agar nyaman bekerja ? Apakah 3 staf ahli akan masuk setiap hari ? Apakah setiap anggota DPR-RI juga selalu hadir setiap hari di gedung terhormat tersebut ? Hanya Tuhan yang tahu.

Belum lagi kalau kita hitung berapa jumlah listrik yang diperlukan dan berapa biaya yang harus ditanggung APBN, sementara itu wilayah Jabodetabek pada beban puncak sudah mencapai 95% okupansinya karena PT PLN kekurangan jaringan dan sistem distribusinya. Artinya jika  gedung DPR-RI menjadi wilayah yang tidak boleh ada pemadaman listrik, maka ketika sistem jaringan dan distribusi listrik terganggu dapat dipastikan rakyat harus rela terkena pemadaman. Rakyat lagi korbannya. Katanya anggota DPR-RI wakil rakyat, kok mengorbankan rakyat terus?

Apa yang Harus Dilakukan Publik?

Publik sebagai pemilik kedaulatan Negara ini harus terus menyuarakan ketidaksepahamannya demi dinamika demokrasi di Indonesia. Pertama, pastikan bahwa pembangunan gedung baru, yang rencananya akan dimulai Oktober 2010 ini, sudah memiliki perizinan sesuai dengan UU yang berlaku, seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan sebagainya. Patut diduga belum karena Pemda DKI Jakarta belum pernah menerima pengajuan perizinan pembangunan gedung aru DPR-RI dari siapa pun.

Kedua, bagaimana jika tidak membangun gedung baru tetapi perluas atau renovasi bangunan yang ada sekarang namun tidak seluas gedung baru. Tentunya akan ada banyak penghematan.

Ketiga, publik harus pastikan bahwa PT PLN mempunyai daya yang cukup untuk melistriki kompleks gedung DPR yang baru. Jika tidak, pastikan Negara mendukung PT PLN melakukan penguatan jaringan dan distribusinya. Jangan  korbankan publik demi gedung baru DPR yang haus listrik.

Berapa biaya untuk listriknya, mari kita hitung. Ruang perkantoran rata-rata membutuhkan 15 watt/m2 sehingga dengan luas 160.000 m2 dibutuhkan total daya sebesar 2,4 juta watt listrik. Jika sehari rata-rata listrik menyala 8 jam, maka PT PLN harus menyediakan listrik sebesar 8 x 2,4 juta watt atau sama dengan 19.200 kwh/hari atau nyaris 500.000  kwh/bulan. Dengan biaya tagihan listrik berdasarkan TDL 2010 untuk kantor Pemerintah yang per kwhnya maksimum Rp. 1.200, maka biaya untuk listrik gedung baru minimal sekitar Rp. 600 juta/bulan!

Keempat, meminta jaminan pada seluruh pimpinan DPR-RI, Fraksi dan Komisi bahwa tidak ada lagi anggota DPR yang absen dan atau tidur selama masa persidangan, menyampaikan pertanyaan yang tidak bermutu dan asal bunyi pada mitra selama masa persidangan, pastikan semua anggota DPR-RI paham dan sanggup berlaku sebagai legislator handal bukan hanya makelar proyek.

Kelima, pastikan bahwa desain yang sudah disampaikan ke publik adalah desain orisinil tidak menjiplak atau mencuri ide  orang lain.

Keenam, pastikan bahwa proses pemilihan konsultan dan kontraktor sesuai dengan aturan yang berlaku tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan tidak bermain mata dengan organ internal DPR-RI dan Pemerintah dalam proyek ini. Kalau tidak memenuhi semua ini, batalkan pembangunan gedung baru!

Tidak ada komentar: